Sabtu, 17 Mei 2014

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN MIASTENIA GRAVIS

Diposting oleh Unknown di 21.13

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang
Myasthenia Gravis adalah kelemahan otot yang parah dan merupakan salah satu kelainan imun bawaan yang cukup langka. Di Amerika prevalensi penyakit ini adalah 2 dari setiap 1.000.000 penduduk. Namun, akhir-akhir ini prevalensi meningkat, terutama di Amerika Serikat, yang berkisar antara 0,5-14,2 kasus per 100,000 orang. Sedangkan di dunia, miastenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang.
Sindrom klinis ini dikemukakan pertama kali pada tahun 1600. Pada akhir tahun 1800-an, miastenia gravis mulai dibedakan dari kelemahan otot akibat paralysis bulbar. Pada tahun 1920, seorang dokter yang menderita miastenia gravis merasa ada perbaikan sesudah ia meminum obat efedrin yang ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi. Akhirnya pada tahun 1934 Mary Walker, seorang dokter dari Inggris, melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara miastenia gravis dan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisostigmin untuk mengobati miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan-kemajuan yang nyata.
Penyakit ini biasanya menunjukkan karakteristik yang khas, yaitu kelemahan pada otot rangka yang biasanya disertai nyeri ketika menggerakkan otot. Dicurigai, kondisi ini disebabkan karena kelainan immunologis yang menyerang otot. Penyakit ini dapat menyerang pada berbagai usia, tetapi paling sering menyerang pada wanita berusia antara 15-35 tahun serta pada pria 40-an tahun.
Tingkat kematian pada waktu lampau dapat mencapai 90%. Kematian biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi secara drastis melalui pengobatan dan perawatan pernapasan. Namun, tetap saja, penyakit ini dapat menyebabkan kematian apabila penanganan dan perawatannya tidak tepat. Oleh karena itu, penulis menyusun makalah ini guna membahas mengenai miastenia gravis dan asuhan keperawatannya.

1.2      Rumusan Masalah
1.2.1   Mengetahui definisi miastenia gravis
1.2.2   Mengetahui etiologi miastenia gravis
1.2.3   Mengetahui patofisiologi miastenia gravis
1.2.4   Mengetahui manifestasi klinis miastenia gravis
1.2.5   Mengetahui manifestasi klinis miastenia gravis
1.2.6   Mengetahui pemeriksaan diagnostik miastenia gravis
1.2.7   Mengetahui penatalaksanaan miastenia gravis
1.2.8   Mengetahui komplikasi miastenia gravis
1.2.9   Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan miastenia gravis

1.3      Tujuan Penulisan
1.3.1   Mahasiswa mampu dan mengerti konsep dasar miastenia gravis
1.3.2   Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan miastenia gravis



BAB 2. PEMBAHASAN

2.1         Definisi
Miastenia gravis merupakan gangguan yang memengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Kondisi ini merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan kombinasi antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan yang dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal (Muttaqin, 2009). Miastenia gravis (MG) adalah suatu kelainan autoimun saraf perifer berupa terbentuknya antibodi terhadap reseptor pascasinaptik asetilkolin (ACh) nikotinik pada myoneural junction. Penurunan jumlah reseptor ACh ini menyebabkan penurunan kekuatan otot yang progresif dan terjadi pemulihan setelah beristirahat.
Miastenia gravis menghasilkan kelemahan progresif dan sporadis, serta kelelahan abnormal pada otot skeletal, yang bertambah buruk setelah latihan atau pengulangan gerakan. Biasanya, gangguan ini menyerang otot yang dikendalikan oleh saraf kranial (wajah, bibir, lidah, leher, dan tenggorokan), tetapi dapat juga menyerang otot-otot lainnya. Miastenia gravis menyebabkan kegagalan dalam transmisi impuls saraf pada sambungan neuromuskuler akibat reaksi autoimun atau tidak berfungsinya aktivitas neurotransmiter.
Miastenia Gravis menyerang semua usia, paling banyak ditemukan pada usia 20-40 tahun. Miastenia Gravis menyerang wanita 3 kali lebih banyak daripada pria, tetapi setelah usia 40 tahun, penyakit ini menyerang pria dan wanita secara seimbang. Sedangkan bayi yang dilahirkan oleh ibu Miastenia gravis akan memiliki Miastenia tidak menetap/transient (kadang permanen) dengan persentase 20%. Penyakit ini akan muncul bersamaan dengan gangguan sistem kekebalan dan gangguan tiroid. Sekitar 15% dari penderita Miastenia Gravis mengalami thymoma (tumor yang dibentuk oleh jaringan kelenjar timus). Remisi terjadi pada 25% penderita penyakit ini.

2.2         Etiologi
Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga kemungkinan terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor asetilkolin (Acetyl Choline Receptor (AChR)) pada persimpangan neoromuskular akibat reaksi autoimun. Etiologi dari penyakit ini adalah:
1.        Kelainan autoimun: direct mediated antibody, kekurangan AChR, atau kelebihan kolinesterase
2.        Genetik: bayi yang dilahirkan oleh ibu MG
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis adalah:
3.        Infeksi (virus)
4.        Pembedahan
5.        Stress
6.        Perubahan hormonal
7.        Alkohol
8.        Tumor mediastinum
9.        Obat-obatan:
a.    Antikolinesterase
b.    Laksative atau enema
c.    Sedatif
d.   Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin, erythromycin)
e.    Potassium depleting diuretic
f.      Narkotik analgetik
g.    Diphenilhydramine
h.    B-blocker (propranolol)
i.      Lithium
j.      Magnesium
k.    Procainamide
l.      Verapamil
m.  Chloroquine
n.    Prednisone

2.3         Patofisiologi
Dalam kasus Myasthenia Gravis, terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline Receptor (AChR) yang mengakibatkan Acetyl Choline (ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal, tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu, sehingga menyebabkan rasa sakit pada pasien.  Pengurangan jumlah AChR ini diduga akibat proses auto-imun dalam tubuh oleh sel B yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Menurut Shah (2006), anti-AChR bodies ditemukan pada 80-90% pasien Myasthenia Gravis.


Pada orang normal, jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.
Sedangkan pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada sambungan neuromuskular. Jumlah asetilkolin penderita berkurang akibat cedera autoimun. Abnormalitas dalam penyakit ini terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end late menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.

2.4         Manifestasi Klinis
Penderita Myasthenia Gravis biasanya menunjukkan karakteristik yang khas, yaitu kelemahan pada otot skeletal yang memburuk ketika digerakkan dan membaik ketika beristirahat. Pada tahap awal, otot-otot tertentu mudah terkena kelelahan, tetapi tidak ditemukan gejala lain. Kemudian, gejala ini semakin parah dan dapat menyebabkan kelumpuhan. Biasanya, otot terasa kuat pada pagi hari dan melemah sepanjang hari, terutama setelah latihan atau pengulangan gerakan. Istirahat singkat untuk sementara waktu dapat mengembalikan fungsi otot, tetapi lemah otot semakin berkembang dan akhirnya beberapa otot menjadi tidak berfungsi sama sekali. Gejala yang terjadi bergantung pada otot yang diserang. Gejala ini akan semakin parah pada masa haid dan setelah stres emosional, terlalu lama terkena sinar matahari atau udara dingin, serta infeksi.
Karakteristik yang lain adalah:
a.         kelemahan otot ekstra okular atau EOM yang menyebabkan Ptosis (turunnya kelopak mata), penglihatan ganda (dislobia);
b.        kelemahan otot wajah (otot mimik);
c.         kelemahan otot bulbar (otot-otot lidah) yang mengakibatkan regurgitasi cairan hidung dan kesulitan mengunyah dan menelan;
d.        kelemahan otot leher dan tenggorokan yang menyebabkan kesulitan makan dan menelan;
e.         kelemahan otot pada jari-jari, tangan, dan kaki (seperti gejala stroke tapi tidak disertai gejala stroke lainnya);
f.         gangguan bicara (disfonia);
g.        gejala berat berupa kelemahan otot pernapasan (respiratory paralysis): kelemahan otot interkostal dan diafragma progresif yang menyebabkan retensi CO2 dan hipoventilasi yang akhirnya mengakibatkan gagal napas, kelemahan otot faring yang menyebabkan gagal saluran pernapasan atas.

2.5   Klasifikasi
Secara umum, Miastenia gravis dibagi menjadi empat golongan (Dewanto, dkk; 2009), yaitu:
a.         Golongan I: Miastenia Okuler
Gejala-gejala hanya tampak pada otot okular saja, disertai ptosis dan diplopia yang ringan
b.        Golongan IIA: Miastenia Umum Ringan
Gejala okular, yang menyebar pada otot rangka dan bulbar, serta kelemahan dan kelelahan umum yang ringan
c.         Golongan IIB: Miastenia Umum Sedang
Gejala okular, terserangnya seluruh otot rangka dan bulbar yang sringan atau edang, kelelahan umum yang sedang, disertai kelemahan otot okular dan bulbar yang ringan  atau sedang, disartria, disfagia, dan sukar mengunyah respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas.
d.        Golongan III: Miastenia Berat Akut
Kelemahan dan kelelahan otot rangka dan bulbaar yang berat, disertai  mulai terserangnya otot-otot pernapasan.  Penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan, respon terahdap terapi obat buruk, iinggii nsiden krisis miasenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya.
e.         Golongan IV: Miastenia Berat Lanjut
Krisis miastenia atau miastenia gravis kronis yang berat, timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala pada golongan I dan  II, yang berkembang secara perlahan-lahan dan tiba-tiba. Respons terhadap terapi obat dan prognosis buruk.
Sedangkan berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), klasifikasi miastenia gravis adalah sebagai berikut.
a.         Class I
1)   Kelemahan otot okular
2)   Gangguan menutup mata
3)   Otot yain lain masih normal
b.        Class II
1)   Kelemahan ringan pada otot selain okular
2)   Kelemahan otot okular meningkat
c.         Class IIa
1)   Mulai mempengaruhi ekstrimitas
2)   Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
d.        Class IIb
1)   Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan
2)   Mempengaruhi ekstrimitas
e.         Class III
1)   Kelemahan sedang pada otot selain okuler
2)   Meningkatnya kelemahan pada otot okuler
f.         Class IIIa
1)   Mempengaruhi ektrimitas
2)   Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
g.        Class IIIb
1)   Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan
2)   Mempengaruhi ekstrimitas
h.        Class IV
1)   Kelemahan berat pada selain otot okuler
2)   Kelemahan berat pada otot okuler
i.          Class IVa
1)   Mempengaruhi ekstrimitas
2)   Sedikit pengaruh pada otot-otot oropharyngeal
j.          Class IVb
1)   Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal
2)   Mempengaruhi otot-otot ekstrimitas
k.        Class V
1)   Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operative)
Selain klasifikasi tersebut, terdapat pula beberapa bentuk varian miastenia gravis, sebagai berikut.
a.         Miastenia neonatus
Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Terjadi pada bayi yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1 : 8,  yang disebabkan oleh masuknya antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta.
b.        Miastenia anak-anak (juvenile myastenia)
Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada dewasa.
c.         Miastenia kongenital
Biasanya muncul tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan imunologik dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini biasanya tidak progresif.
d.        Miastenia familial
Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi pada miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa.
e.         Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome)
Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan karsinoma bronkus (small-cell carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia gravis, umumnya penderita mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan okular tidak mencolok, dan refleks tendo menurun atau negatif, dan mengeluh mulutnya kering.
f.         Miastenia gravis antibodi-negatif
Kurang lebih ¼ dari penderita miastenia gravis tidak menunjukkan adanya antibodi. Pada umumnya keadaan demikian terdapat pada pria dari golongan I dan IIB. Tidak adanya antibodi menunjukkan bahwa penderita tidak akan memberi respons terhadap pemberian prednison, obat sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi.
g.        Miastenia gravis terinduksi penisilamin
D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid, penyakit Wilson, dan sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P dihentikan.
h.        Botulisme
Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang menghalangi pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik. Akibatnya terjadi paralisis berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut (sea food). Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan dalam kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna. Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi pola desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateau). Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot okular dan lidah. Sebagian besar penderita mengalami disfungsi otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).

2.6       Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut:
a.         Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dan sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
b.        Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibody)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil.
c.         Tes tensilon (Edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi. Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.
d.        Pengukuran EMG (Elektromiografi)
Potensial aksi otot rangka memperlihatkan penurunan amplitudo pada stimulasi neuron motorik.
e.         Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.
f.         Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.
g.        Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.

2.7       Penatalaksanaan
Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan pada pasien dengan miastenia gravis adalah:
A.      Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat kekuatan
B.       Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan)
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
C.       Plasmaferesis (dialisis darah dengan pengeluaran antibodi IgG)
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Plasmaferesis mungkin efektif pada krisis miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
D.      Terapi farmakologi
1.        Antikolinesterase (piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam) untuk memperpanjang waktu paruh asetilkolin di taut neuromuskular. Pemberian antikolinesterase sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan.
2.        Steroid (prednisolon sekali sehari secara selang-seling/alternate days dengan dosis awal kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu). Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.
3.        Azatioprin (merupakan obat imunosupresif dengan efek samping lebih sedikit jika dibandingkan dengan steroid, yaitu berupa gangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan leukopenia). Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali.
4.        Obat anti-inflamasi untuk membatasi serangan autoimun

2.8       Komplikasi
Miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis yang terjadi sebagai komplikasi dari miastenia gravis (Corwin, 2009), yaitu:
1)        Krisis miastenik
Ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak pada gawat napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh. Dalam kondisi ini, dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup, terjadi setelah pengalaman yang menimbulkan stres seperti penyakit, gangguan emosional, pembedahan, atau selama kehamilan, serta infeksi. Tindakan terhadap kasus ini adalah:
a)        kontrol jalan napas
b)        pemberian antikolinesterase
c)        bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis dapat diturunkan.
2)        Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu respons toksik akibat kelebihan obat-obat antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Status hiperkolinergik ditandai dengan peningkatan motilitas usus, konstriksi pupil, bradikardia, mual dan muntah, berkeringat, diare, serta dapat pula timbul gawat napas. Tindakan terhadap kasus ini adalah:
a)        kontrol jalan napas
b)        penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat, karena sekret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian, antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah
c)        bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.
Perbedaan kedua krisis di atas secara rinci disajikan dalam tabel berikut:

Krisis miastenia
Krisis kolinergik
1.        Meningkatnya tekanan darah
2.        Takikardia
3.        Gelisah
4.        Ketakutan
5.        Meningkatnya sekresi bronkhial, air mata dan keringat
6.        Kelemahan otot umum
7.        Kehilangan refleks batuk
8.        Kesulitan bernafas, menelan dan bicara
9.        Penurunan output urine
1.        Menurunnya tekanan darah
2.        Bradikardia
3.        Gelisah
4.        Ketakutan
5.        Meningkatnya sekresi bronkhial, air mata dan keringat
6.        Kelemahan otot umum
7.        Kesultan bernapas, menelan dan bicara
8.        Mual, muntah
9.        Diare
10.    Kram abdomen


Selain kedua krisis tersebut, miastenia gravis juga dapat menimbulkan komplikasi berikut:
1.        gagal nafas
2.        disfagia
3.        pneumonia
4.        komplikasi sekunder dari terapi obat (terutama penggunaan steroid yang lama), yaitu: osteoporosis, katarak, hiperglikemi, gastritis, penyakit peptic ulcer, dan pneumocystis carinii.

2.9       Prognosis
Prognosis dari miastenia gravis adalah:
a.         tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31%
b.        MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%
c.         40% hanya MG dengan gejala okuler



BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
MIASTENIA GRAVIS

3.1         Pengkajian
1.             Anamnesis
a.    Identitas klien: nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan status (pekerjaan, perkawinan)
b.    Keluhan utama: kelemahan otot, terutama setelah beraktivitas dan membaik setelah beristirahat
c.    Riwayat kesehatan (riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat penyakit keluarga): Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana, riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
d.   Pengkajian psikososiokultural: gangguan emosi, gangguan citra diri
2.             Pemeriksaan Fisik
a.    B1 (Breathing): penurunan kemampuan batuk efektif, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu pernapasan, peningkatan frekuensi napas akibat kelemahan otot-otot pernapasan, dan adanya bunyi napas tambahan (ronkhi atau stridor)
b.    B2 (Blood): denyut nadi dan tekanan darah berubah seiring status pernapasan
c.    B3 (Brain): pengkajian syaraf kranial (I, II, III, IV, dan VI), pengkajian refleks, dan pengkajian sistem sensorik
d.   B4 (Bladder): berkurangnya volume pengeluaran urine akibat penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal
e.    B5 (Bowel): mual dan muntah akibat peningkatan produksi asam lambung, pemenuhan nutrisi kurang akibat ketidakmampuan menelan
f.       B6 (Bone): kelemahan otot-otot volunter yang menghambat mobilitas dan mengganggu aktivitasperawatan diri
3.             Pemeriksaan Penunjang
a.    Pemeriksaan laboratorium: Anti-acetylcholine receptor antibody, Anti-striated muscle, dan Interleukin-2 receptor
b.    Pemeriksaan radiologi: Rontgen thoraks, CT thoraks, MRI otak dan orbita
c.    Ice pack test
d.   Tes Tensilon menggunakan edrofonium chlorida
e.    Pemeriksaan antibodi terhadap reseptor ACh
f.       Repetitive nerve stimulation (RNS)
g.    Single Fiber EMG (SFEMG)

3.2         Pathways

3.3         Diagnosa Keperawatan
1.    Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan
2.    Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun
3.    Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot-otot volunter
4.    Gangguan keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan
5.    Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan berbicara
6.    Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal (berbicara)
7.    Risiko tinggi aspirasi berhubungan dengan penurunan kontrol tersedak dan kemampuan batuk efektif

3.4         Intervensi Keperawatan
Diagnosa Utama: Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot-otot pernafasan
Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan intervensi, pola pernapasan pasien kembali efektif
Kriteria hasil:
a.         irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal;
b.        bunyi nafas terdengar jelas;
c.         respirator terpasang dengan optimal
Intervensi:
1.        kaji kemampuan ventilasi
2.        kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan; laporkan setiap perubahan yang terjadi
3.        baringkan klien dalam posisi yang nyaman atau dalam posisi duduk
4.        observasi tanda-tanda vital (nadi, RR, TD)
5.        pasang ventilator mekanik bila diperlukan
6.        pantau status pernapasan pasien secara periodik dan waspadai adanya tanda-tanda krisis yang mengancam seperti distres pernapasan mendadak, takikardi dan ansietas
7.        pantau respon pasien terhadap terapi obat, kaji efek obat
8.        ajari pasien memposisikan kepala pada posisi yang sedikit fleksi untuk melindungi jalan napas ketika sedang makan
9.        kolaborasi pemberian obat-obatan antikolinergik

3.5         Evaluasi
Diagnosa utama: setelah dilakukan intervensi selama 3 X 24 jam, pasien mencapai fungsi pernapasan yang adekuat
Kriteria hasil:
a.    Pasien mampu menunjukkan frekuensi pernapasan dan kedalaman pernapasan normal
b.    Pasien tidak lagi menggunakan otot bantu pernapasan dalam bernapas
c.    Pasien menaati jadwal medikasi yang ditetapkan
d.   Pasien mampu menghindari situasi yang dapat mencetuskan flu dan infeksi yang dapat memperberat gejala




BAB 4. KESIMPULAN

Miastenia gravis (MG) adalah suatu kelainan autoimun saraf perifer berupa terbentuknya antibodi terhadap reseptor pascasinaptik asetilkolin (ACh) nikotinik pada myoneural junction. Penurunan jumlah reseptor ACh ini menyebabkan penurunan kekuatan otot yang progresif dan terjadi pemulihan setelah beristirahat. Biasanya, gangguan ini menyerang otot yang dikendalikan oleh saraf kranial (wajah, bibir, lidah, leher, dan tenggorokan), tetapi dapat juga menyerang otot-otot lainnya. Miastenia gravis menyebabkan kegagalan dalam transmisi impuls saraf pada sambungan neuromuskuler akibat reaksi autoimun atau tidak berfungsinya aktivitas neurotransmiter. Manifestasi klinisnya di antaranya kelemahan pada otot skeletal yang memburuk ketika digerakkan dan membaik ketika beristirahat, kelemahan otot ekstra okular atau EOM yang menyebabkan Ptosis (turunnya kelopak mata), penglihatan ganda (dislobia), kelemahan otot bulbar (otot-otot lidah), kelemahan otot leher dan tenggorokan, kelemahan otot pada ekstremitas, gangguan bicara (disfonia), dan kelemahan otot pernapasan yang berakibat kegagalan pernapasan.




DAFTAR PUSTAKA


Brunner & Suddart. 1996. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Carpenito. 2001. Handbook of Nursing Diagnosis. Jakarta: EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa oleh Nike Budhi Subekti. Jakarta: EGC.

Dewanto, dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Syaraf. Jakarta: EGC.

Doengoes. 2000. Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian. Jakarta: EGC.

Harsono.1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Mardjono. 2003. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.

Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Price & Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Sidharta. 1999. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian Rakyat.

Sidharta. 1999. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta: Dian Rakyat.






















1 komentar:

magiqueaberle mengatakan...

Wynn's new casino, Wynn, opens Thursday | DrmCD
Wynn Las Vegas 양산 출장샵 and Encore casino have two distinct towers in the Wynn Collection, one in Las Vegas, the other 충청북도 출장마사지 in Wynn Las Vegas 충청북도 출장마사지 and the 안성 출장마사지 other 양주 출장안마

Posting Komentar

 

Suhariyati Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea